Kamis, 04 Agustus 2011

Terbiasnya Harapan

Semestinya ku tak harus mengenal dirimu
Semestinya ku tak harus mencintai dirimu
Kini aku ada di roda kehidupanmu
Mencoba menggapai bayang dirimu

Sinarmu yang terang mulai memasuki hati
Getar dawai cintamu mengalun tanpa henti
Andai aku bisa mengirim isyarat hati
Namun semua ini hanyalah ilusi
Detak waktu beranjak iringi lara
Terbiasnya harapan yang terhalang kepastian cinta
Terbawa deras hujan ke ujung mata
Tersiksa bersama hampa rasa
Hilanglah hampa tinggallah hampa
Bulan purnama tolong sampaikan
Begitu berat untuk ku katakan
Memendam seribu bayangan
Menghanyutkan semua angan
Menangisku didiamku menuntutku tuk bertahan
Menanti harapan kelam dalam hening dalam lamunan
Terucap keraguan hati yang bimbang
Memendam seribu bayang
Andai aku bisa mengulang
Waktu hilang dan terbuang
Beribu kisah tentangmu tlah habis di telan waktu
Menyudutkanku ... meninggalkanku
Walau hal terbesar membelenggu
Tak pernah aku sesali cintaku untukmu
Karna senyummu itu sudah cukup untukku.

Hogwarts, Skyhigh dan Tongkat sihir

Seperti petir kata itu menyambar telingaku saat bisikan itu datang. Tidak keras, tidak keras memang, malah pelan, terlalu pelan, hampir-hampir tidak terdengar. Tetapi mendengar kata-kata itu, aku seperti mendengar ledakan halilintar menyambar di telingaku.
Sejenak, aku tidak mampu berkata apa-apa, sejenak otakku terasa kosong. Hanya sepotong kata-kata itu yang selalu memantul kembali ke otakku. Gemanya seakan-akan terasa sampai ke ujung kakiku. "Dunia khayal? Mana Mungkin?"
Aku hanya bisa berfikir ini adalah impian liar. Bermain-main di Hogwarts, "Naik kereta api tut...tut..tut... terbang pula, menembus dinding menuju dunia lain, tetapi bukan alam baka, dunia khayal yang entah dari mana datangnya, aku pun juga belum pernah ada disana. Hanya lewat TV aku bisa melihatnya". Mungkin di Hogwarts juga ada tangga menuju langit, pantai yang indah. Aku ingin sekali berada disana, aku ingin bisa di alam yang semuanya serba bercahaya.
Skyhight. “Kapan aku bisa kesana?” Konyol memang, tidak masuk akal. “Aku belajar diatas langit,” itu impianku. Seperti yang ada pada film Harry Potter, aku selalu ingin melakukan hal yang bisa dilakukan Harry Potter. “Haduhh... Impianku itu sungguh tidak masuk akal, Harry Potter VS Dunia nyata? Mana mungkin?”
Tongkat sihir seperti kepunyaan Harry Potter juga sudah aku lirik. Menarik, bahkan sangat menarik, aku akan menciptakan mantra versi diriku sendiri untuk menyulap apa saja yang aku mau. Hal yang pertama aku lakukan jika aku mendapatkan tongkat sihir itu, aku akan mengubah TV menjadi jauh lebih menyenangkan dari pada sekarang. Misalnya saja waktu ada iklan motor, aku sulap itu motor jadi ada di depan aku. Kalau ada Iklan Kuliner, aku sulap hidangannya ada di depanku dan bisa aku makan. Kalau ada Eza Gionono sama Steven William, aku geret dia keluar dari TV buat nemenin aku jalan-jalan. “Konyol kan?”

Mutiara Hati

Dalam hening senja, terungkap ketulusan kasih sayang lewat sentuhan kalbu ayah dan bunda mengenang masa ku saat kecil. Mereka menitihkan seutas air mata dikala membuka album biru yang penuh debu juga kusam. Tersentak didalam hati mereka akan tingkah manjaku yang merengek meminta setangkai kasih sayang tulus darinya. Bayi mungil yang lahir di siang hari, tepatnya pada tanggal 1 Maret 1995 tu merupaan mutiaa hati yag menjadi anugerah terindah ayah dan bunda untuk yang pertama kalinya. Bayi itu lahir di surga semu ini dan bisa merasakan sepercik aliran kehidupan atas perjuangan ibu yang mempertaruhkan nyawa. Bayi yang masih polos, kulitnya masih kemerahan dan belum mengenal dosa adalah aku saat itu. Suasana yang saat itu cekam berubah menjadi tangis haru karena kakek, nenek, ayah, bunda dan orang terkasih lainnya mendengar getar tangisanku yang untuk pertama kalinya. Mengalir lembut nada bisikan ayah yang melantunkan suara azhan serta asmaul husna agar suara yang pertama kali aku dengar adalah do’a-do’a suci. Kakek dan nenek sejenak menutup matanya untuk memanjatkan seutas harapan agar kelak aku dapat menjadi mutiara hati yang berkilau.
Tibalah waktunya aku dibawa pulang ke rumah agar aku bisa menghirup rindu dari keluarga dan tetangga-tetanggaku. Di desa Birit kecamatan Wedi kabupaten Klaten menjadi saksi kehidupanku yang penuh dengan lika-liku tikungan tajam yang menerkam bak karang yang di hempas sang ombak. Gubuk kecil yang setiap hari aku jadikan empat berteduh turut menyapaku dan mengingatkanku atas kisah lembaran lama yang manis dan juga pahit. Saat aku mulai tumbuh dan mencoba merangkak, berjalan bahkan berlari, ibulah yang slalu menemaniku dengan belai lembut kasih sayangnya, langitpun tahu. Dengan pancaran sinar matahari yang menuntutku untuk bisa menggapai terang benderang cahayanya, aku pun mulai bisa berdiri tegak untuk mencari dan melampirkan ilmu-ilmu yang akan aku dapatkan dan akan kukubur di sanubari.
Menginjak usia ke lima tahun, aku mengawali sekolahku di TK Aisyiyah Wedi Klaten. Tak pernah lepas pandangan orang tuaku karena saat itu aku masih terlalu keil untuk memulai. Bersama kroni-kroni aku mengawali sepercik ilmu yang membuatku dan memotivasiku untuk selalu bisa menjalani roda kehidupan. Masa TK sudah aku lalui selama dua tahun. Kini tibalah aku melanjutkan dan menimba ilmu di SD Muhammadiyah Wedi, selama enam tahun aku menyelipkan kehidupanku disana. Ilmu-ilmu yang aku dapat begitu indah dan bisa ku jadikan sebagai pengalaman hidup yang bagaikan logam mulia. Lewat gayuhan sepeda aku beranjak dari gubuk deritaku menuju cahaya kilau yang berhembus melalui pendidikanku di sekolahku saat itu. Disana banyak ukiran lembut kisah masa kecil, masa nakal, masa ceria sebagai anak-anak yang mencoba mengepakkansayap-sayap fikiran dan nurani. Perlahan, aku terdiam, aku mulai merasakan betapa indahnya kehidupan ini, kehidupan yang hanya sementara dan harus aku manfaatkan sebaik-baiknya. Rangkaian kisah masa SD turut memberikan segenggam animasi hidup. Detak waktu beranjak turut menghakimiku untuk meninggalkan masa SD dan mulai berlari menghampiri pendidikan SMP. Perjalanan panjang masa anak-anak selama 8 tahun dari TK hingga SD tidak akan pernah akau lupakan dalam benak dan jiwaku, bulan pun tahu. Masa SMP datang, masa putih biru menghadang di depan mata, turut menoreh kisah hidup selang waktu terindah. Teman-teman baru dan kisah baru mulai terendam di jiwa, cita, cinta, bahagia dan kecewa semakin aku rasakan disana. Mungkin disinilah awal mula perjalanan hatiku yang mulai mengepakkan sayap-sayap kasih sayang. Untuk pertama kalinya aku mengagumi sosok teang dalam kegelapan di dunia cintaku. Seperti angin yang berhembus, dia menyapaku dalam lamunanku. Seorang teman terbaik yang memberikan senyuman pertama untukku. Dia turut memotivasiku untuk berlomba-lomba menggapai ilmu yang melayang-layang di pendidikanku. Waktu demi waktu mengalun indah bersamaku, namun rasa kagum yang aku berikan untuk sosok terang dalam kegelapan iru turut redup redam dan berubah menjadi rasa benci, entah apa yang kurasakan saat itu. Rasa benci yang begitu berat tak sanggup aku pikul lagi, tertahan di benak dan menyiksa di hati, tak tahu dari mana rasa benci itu terbit. Aku berharap rasa benci itu bisa terbenam seiring dengan waktu yang bergulir. Terasa berat untuk terhubung kembali menjadi teman terbaik, semua melampirkan dendam, melampiaskan cerita. Tetapi seiring waktu berlalu aku sadar, aku telah menyia-nyiakan waktu berharga untuk bisa menjalani hidupku dengan mereka.rasa kagumku kembali terkuak karena tingkah bodohnya yang membuatku bertanya-tanya seribu bayang. Rasa benciku ternyata tenggelam dan hilang, tak tahu apa sebabnya, bumi pun tahu. Apa yang terasa ini yang terasa, ini yang terasa ini yang aku rasa. Desah angin meniupkan namanya, namun apa daya aku tak sangup menutupinya. Aku harus bangun dari mimpi-mimpi itu, aku harus bagaimana? Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnya, aku bertanya pada langit tua, langit tak mendengar. Air mata yang selama tiga tahun aku pendam waktunya untuk ku jatuhkan. Aku harus kembali menggapai semua cita-cita dan masa depanku menjelang agar terang bersinar bak sosok terang dalam kegelapan. Masa SMP yang penuh dengan dentuman-dentuman api itu terdiam dan perlahan menghilang karena di gerbang harapan sudah menjemputku untuk melalui masa SMK. Di SMK N 1 KLATEN lah aku meneruskan pendidikanku. Disanalah aku mengasah ilmuku dan mendapatkan teman-teman melimpah.
Itulah kisah hidupku, kisah seorang Hera Ramadhani. Namaku itu diberikan oleh orang tuaku dengan mempunyai makna banyak. “Hera” yang diambil dari kata “Hero” yang artinya pahlawan dan “Ramadhani” yang kebetulan aku lahir di bulan ramadhan. Menurut ayah saya yaitu Hari Warsono dan Ibu saya Waryanti, “Hera Ramadhani” artinya pahlawan di bulan ramadhan. Saat ini aku mempunyai seorang adik perempuan bernama “Hilda Azhari”. Menurut Ibu guru saya “hera” artinya adalah Dewi Bumi.
Dari kecil aku dibimbing, aku dibina, aku di sayang oleh orang tuaku agar kelak aku bisa menjadi anak yang nermanfaat bagi keluarga dan semua orang. Dari TK, SD, SMP aku bersekolah, aku di biayai oleh orang tuaku hingga SMK. Akan tetapi aku sadar, terkadang aku hanya malas-malasan, aku hanya main-main, bahkan aku sudah membuat mereka kecewa. Tiap hari mereka membanting tulang, mereka bekerja keras, mereka tidak mengenal lelah. Mereka berdo’a di tengah heningnya malam, “Ya Allah... semoga mutiara hatiku kelak menjadi orang yang sukses, orang yang berpendidikan, orang yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Jangan sepertiku Ya Allah..., aku hanya seorang buruh yang mempunyai angan-angan agar anakku kelak bisa menjadi mutiara hati yang berkilau”. Ayah dan Ibu menangis di setiap malam, mereka berdo’a di tengah sunyinya malam, tapi apa yang aku balas. Untuk saat ini hanya semangat belajar dan tenaga ku saja yang mampu aku berikan untuknya. Kasih sayang ayah dan ibu berlipat-lipat ganda begitu besar, begitu tulus, tidak sebanding dengan rasa cintaku terhadap mereka.
Aku akan membuka mataku, aku harus berdiri menjadi mutiara hati kebanggaan mereka. Aku harus tunjukkan kepada Dunia, aku sayang, aku cinta, aku mampu membahagiakan ayah dan ibu. Ketika ayah dan ibu sakit karena terlalu keras bekrja untukku, mereka masih bisa tersenyum, mereka menahan sakit walaupun rasanya sudah tak kuat lagi. Mereka teringat akan aku, “Ya Allah... jangan kau pisahkan aku dengan mutiara hatiku ini, aku belum melihat dia sukses, ijinkanku melihat mutiara hatiku kemilau seperti permata surga”, do’a mereka untukku. Akan ku buktikan bahwa aku mampu menjadi mutiara hati yang bermanfaat. Ayah... Ibu... do’akan mutiara hatimu ini agar bisa menjadi anak yang sukses. Aku yakin bahwa aku bisa! Amiiin.