Kamis, 04 Agustus 2011

Mutiara Hati

Dalam hening senja, terungkap ketulusan kasih sayang lewat sentuhan kalbu ayah dan bunda mengenang masa ku saat kecil. Mereka menitihkan seutas air mata dikala membuka album biru yang penuh debu juga kusam. Tersentak didalam hati mereka akan tingkah manjaku yang merengek meminta setangkai kasih sayang tulus darinya. Bayi mungil yang lahir di siang hari, tepatnya pada tanggal 1 Maret 1995 tu merupaan mutiaa hati yag menjadi anugerah terindah ayah dan bunda untuk yang pertama kalinya. Bayi itu lahir di surga semu ini dan bisa merasakan sepercik aliran kehidupan atas perjuangan ibu yang mempertaruhkan nyawa. Bayi yang masih polos, kulitnya masih kemerahan dan belum mengenal dosa adalah aku saat itu. Suasana yang saat itu cekam berubah menjadi tangis haru karena kakek, nenek, ayah, bunda dan orang terkasih lainnya mendengar getar tangisanku yang untuk pertama kalinya. Mengalir lembut nada bisikan ayah yang melantunkan suara azhan serta asmaul husna agar suara yang pertama kali aku dengar adalah do’a-do’a suci. Kakek dan nenek sejenak menutup matanya untuk memanjatkan seutas harapan agar kelak aku dapat menjadi mutiara hati yang berkilau.
Tibalah waktunya aku dibawa pulang ke rumah agar aku bisa menghirup rindu dari keluarga dan tetangga-tetanggaku. Di desa Birit kecamatan Wedi kabupaten Klaten menjadi saksi kehidupanku yang penuh dengan lika-liku tikungan tajam yang menerkam bak karang yang di hempas sang ombak. Gubuk kecil yang setiap hari aku jadikan empat berteduh turut menyapaku dan mengingatkanku atas kisah lembaran lama yang manis dan juga pahit. Saat aku mulai tumbuh dan mencoba merangkak, berjalan bahkan berlari, ibulah yang slalu menemaniku dengan belai lembut kasih sayangnya, langitpun tahu. Dengan pancaran sinar matahari yang menuntutku untuk bisa menggapai terang benderang cahayanya, aku pun mulai bisa berdiri tegak untuk mencari dan melampirkan ilmu-ilmu yang akan aku dapatkan dan akan kukubur di sanubari.
Menginjak usia ke lima tahun, aku mengawali sekolahku di TK Aisyiyah Wedi Klaten. Tak pernah lepas pandangan orang tuaku karena saat itu aku masih terlalu keil untuk memulai. Bersama kroni-kroni aku mengawali sepercik ilmu yang membuatku dan memotivasiku untuk selalu bisa menjalani roda kehidupan. Masa TK sudah aku lalui selama dua tahun. Kini tibalah aku melanjutkan dan menimba ilmu di SD Muhammadiyah Wedi, selama enam tahun aku menyelipkan kehidupanku disana. Ilmu-ilmu yang aku dapat begitu indah dan bisa ku jadikan sebagai pengalaman hidup yang bagaikan logam mulia. Lewat gayuhan sepeda aku beranjak dari gubuk deritaku menuju cahaya kilau yang berhembus melalui pendidikanku di sekolahku saat itu. Disana banyak ukiran lembut kisah masa kecil, masa nakal, masa ceria sebagai anak-anak yang mencoba mengepakkansayap-sayap fikiran dan nurani. Perlahan, aku terdiam, aku mulai merasakan betapa indahnya kehidupan ini, kehidupan yang hanya sementara dan harus aku manfaatkan sebaik-baiknya. Rangkaian kisah masa SD turut memberikan segenggam animasi hidup. Detak waktu beranjak turut menghakimiku untuk meninggalkan masa SD dan mulai berlari menghampiri pendidikan SMP. Perjalanan panjang masa anak-anak selama 8 tahun dari TK hingga SD tidak akan pernah akau lupakan dalam benak dan jiwaku, bulan pun tahu. Masa SMP datang, masa putih biru menghadang di depan mata, turut menoreh kisah hidup selang waktu terindah. Teman-teman baru dan kisah baru mulai terendam di jiwa, cita, cinta, bahagia dan kecewa semakin aku rasakan disana. Mungkin disinilah awal mula perjalanan hatiku yang mulai mengepakkan sayap-sayap kasih sayang. Untuk pertama kalinya aku mengagumi sosok teang dalam kegelapan di dunia cintaku. Seperti angin yang berhembus, dia menyapaku dalam lamunanku. Seorang teman terbaik yang memberikan senyuman pertama untukku. Dia turut memotivasiku untuk berlomba-lomba menggapai ilmu yang melayang-layang di pendidikanku. Waktu demi waktu mengalun indah bersamaku, namun rasa kagum yang aku berikan untuk sosok terang dalam kegelapan iru turut redup redam dan berubah menjadi rasa benci, entah apa yang kurasakan saat itu. Rasa benci yang begitu berat tak sanggup aku pikul lagi, tertahan di benak dan menyiksa di hati, tak tahu dari mana rasa benci itu terbit. Aku berharap rasa benci itu bisa terbenam seiring dengan waktu yang bergulir. Terasa berat untuk terhubung kembali menjadi teman terbaik, semua melampirkan dendam, melampiaskan cerita. Tetapi seiring waktu berlalu aku sadar, aku telah menyia-nyiakan waktu berharga untuk bisa menjalani hidupku dengan mereka.rasa kagumku kembali terkuak karena tingkah bodohnya yang membuatku bertanya-tanya seribu bayang. Rasa benciku ternyata tenggelam dan hilang, tak tahu apa sebabnya, bumi pun tahu. Apa yang terasa ini yang terasa, ini yang terasa ini yang aku rasa. Desah angin meniupkan namanya, namun apa daya aku tak sangup menutupinya. Aku harus bangun dari mimpi-mimpi itu, aku harus bagaimana? Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnya, aku bertanya pada langit tua, langit tak mendengar. Air mata yang selama tiga tahun aku pendam waktunya untuk ku jatuhkan. Aku harus kembali menggapai semua cita-cita dan masa depanku menjelang agar terang bersinar bak sosok terang dalam kegelapan. Masa SMP yang penuh dengan dentuman-dentuman api itu terdiam dan perlahan menghilang karena di gerbang harapan sudah menjemputku untuk melalui masa SMK. Di SMK N 1 KLATEN lah aku meneruskan pendidikanku. Disanalah aku mengasah ilmuku dan mendapatkan teman-teman melimpah.
Itulah kisah hidupku, kisah seorang Hera Ramadhani. Namaku itu diberikan oleh orang tuaku dengan mempunyai makna banyak. “Hera” yang diambil dari kata “Hero” yang artinya pahlawan dan “Ramadhani” yang kebetulan aku lahir di bulan ramadhan. Menurut ayah saya yaitu Hari Warsono dan Ibu saya Waryanti, “Hera Ramadhani” artinya pahlawan di bulan ramadhan. Saat ini aku mempunyai seorang adik perempuan bernama “Hilda Azhari”. Menurut Ibu guru saya “hera” artinya adalah Dewi Bumi.
Dari kecil aku dibimbing, aku dibina, aku di sayang oleh orang tuaku agar kelak aku bisa menjadi anak yang nermanfaat bagi keluarga dan semua orang. Dari TK, SD, SMP aku bersekolah, aku di biayai oleh orang tuaku hingga SMK. Akan tetapi aku sadar, terkadang aku hanya malas-malasan, aku hanya main-main, bahkan aku sudah membuat mereka kecewa. Tiap hari mereka membanting tulang, mereka bekerja keras, mereka tidak mengenal lelah. Mereka berdo’a di tengah heningnya malam, “Ya Allah... semoga mutiara hatiku kelak menjadi orang yang sukses, orang yang berpendidikan, orang yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Jangan sepertiku Ya Allah..., aku hanya seorang buruh yang mempunyai angan-angan agar anakku kelak bisa menjadi mutiara hati yang berkilau”. Ayah dan Ibu menangis di setiap malam, mereka berdo’a di tengah sunyinya malam, tapi apa yang aku balas. Untuk saat ini hanya semangat belajar dan tenaga ku saja yang mampu aku berikan untuknya. Kasih sayang ayah dan ibu berlipat-lipat ganda begitu besar, begitu tulus, tidak sebanding dengan rasa cintaku terhadap mereka.
Aku akan membuka mataku, aku harus berdiri menjadi mutiara hati kebanggaan mereka. Aku harus tunjukkan kepada Dunia, aku sayang, aku cinta, aku mampu membahagiakan ayah dan ibu. Ketika ayah dan ibu sakit karena terlalu keras bekrja untukku, mereka masih bisa tersenyum, mereka menahan sakit walaupun rasanya sudah tak kuat lagi. Mereka teringat akan aku, “Ya Allah... jangan kau pisahkan aku dengan mutiara hatiku ini, aku belum melihat dia sukses, ijinkanku melihat mutiara hatiku kemilau seperti permata surga”, do’a mereka untukku. Akan ku buktikan bahwa aku mampu menjadi mutiara hati yang bermanfaat. Ayah... Ibu... do’akan mutiara hatimu ini agar bisa menjadi anak yang sukses. Aku yakin bahwa aku bisa! Amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar